Hati yang Merasa Cukup

Unsplash - Robert Collins

JENDELAISLAM.ID – Seringkali kita melafalkan kata “cukup”. Singkat tapi sesungguhnya punya arti yang luas. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “cukup” bermakna terpenuhi kebutuhan.  Biar pun agak bias, sebutan “cukup” mengindikasikan keterpenuhan. Kebalikan dari kata “cukup” adalah “kurang”.

Dalam tataran praktis, tak sedikit orang yang ekonominya pas-pasan bahkan kekurangan, namun enggan mengaduh. Dia lebih memilih untuk menerima dan mensyukuri yang ada. Tak iri kepada liyan.

Sebaliknya, dalam realitasnya, banyak orang sudah memiliki penghasilan cukup, justru masih mengeluh, merasa kurang. Bahkan tak segan masih mencari celah dengan menghalalkan berbagai cara untuk memenuhi dahaga kurangnya.  Ini terjadi lantaran ketamakan lebih menguasai jiwa.

Ternyata, banyak sedikitnya materi yang kita dapat, tak menjamin kita merasa cukup. Banyak belum tentu cukup. Pas-pasan atau bahkan kurang, belum tentu kurang, bisa jadi mungkin merasa lebih dari cukup. Cukup tak bisa dipahami dengan bahasa akal. Tapi ia bisa dimengerti dengan bahasa hati.

Bagaimana sebenarnya makna “cukup” dalam perspektif agama?

Dalam kajian tasawuf, kata “cukup” ini seirama dengan konsep “qanaah”. Maknanya sangat dalam. Titik tekannya lebih pada perasaan/hati yang merasa cukup. Tak menuntut lebih terkecuali dengan apa yang ada. Mensyukuri yang ada dengan legowo.   

Secara bahasa, qanaah memiliki arti merasa cukup atau rela. Adapun secara terminologi, qanaah memiliki arti merasa cukup serta rela menerima pemberian Allah SWT.  Seseorang yang telah meyakini sifat qanaah dalam hidupnya, akan senantiasa bersyukur.  

Sifat inilah yang harusnya setiap Muslim pegangi agar menjadi pribadi yang senantiasa merasa cukup atas segala rezeki yang telah Allah SWT berikan. Tak mengeluh atas usaha apapun yang telah ia lakukan.  

Manfaat Merasa Cukup

Bisa jadi, dimata kebanyakan, orang yang merasa cukup, dianggap kurang secara materi. Lantaran ekonominya biasa, penghasilannya pas-pasan. Tapi sejatinya tidak demikian. Pasalnya, apa yang dirasakan oleh satu orang, berbeda dengan liyan. Dan “cukup” sendiri adalah kata hati.

Beruntunglah, orang yang istiqamah menerapkan konsep cukup dalam jiwanya. Kenapa demikian?

  1. Ia merasa seperti sudah menggenggam dunia. Rasulullah SAW bersabda, ”Barang siapa di antara kalian mendapatkan rasa aman di rumahnya, kesehatan, dan memiliki makanan pokok pada hari itu di rumahnya, maka seakan-akan dunia telah terkumpul pada dirinya” (HR. Tirmidzi).
  2. Merasa cukup akan membuat orang pandai bersyukur. Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda, ”Pandanglah orang yang berada di bawahmu (dalam masalah harta dan dunia) dan janganlah engkau pandang orang yang berada di atasmu (dalam masalah ini). Hal itu akan membuatmu tidak meremehkan nikmat Allah padamu”(HR. Muslim).
  3. Bisa mencegah dari sifat iri dengki.  Mengingat telah merasa cukup atas semua yang ia miliki. Ini relevan dengan hadits Nabi SAW, “Berbagai penyakit akan menimpa umatku.” Para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, apa saja penyakit umat-umat (terdahulu)?” Rasulullah berkata, “Kufur Nikmat, menyalahgunakan nikmat, saling berlomba memperbanyak dunia, saling berbuat najsy (mengelabui dalam penawaran, pen.), saling memusuhi, dan hasad-menghasadi hingga timbulnya sikap melampaui batas (kezaliman)” (HR. al-Hakim).
  4. Terbiasa hidup sederhana. Merasa cukup, akan mendidik seseorang menjadi pribadi yang rendah hati serta sederhana meski berada. Mengingat harta bukanlah tujuan utama. “Bukannya kekayaan (orang kaya) itu karena banyaknya harta, melainkan kekayaan (orang kaya) yang sebenarnya adalah kaya hati”(HR. Bukhari dan Muslim).***

Sumber Foto: Unsplash/Robert Collins